12 November 2007

R.U.M.I.


Selama ini aku agak "alergi" bicara cinta, namun setelah membaca Dialog Jumat di Harian Republika edisi Jumat 9 November 2007 yang lalu kok aku sedikit tertarik dengan kata-kata itu. Adalah sosok Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad ibnu Hasin Alkhattabi Albakri (Jalaluddin Rumi) bapak ilmu Tasawuf bagi sebagian orang yang membuaku sedikit "penasaran" dengan syair cinta.

Nama Rumi sebenarnya nga' asing buatku adalah Dhani Ahmad yang mulai menyebut-nyebut tokoh itu, menurutnya (ini kata Sigit) beberapa lagu ciptaanya terinspirasi dari Rumi, ah tapi aku nga' terlalu memperhatikan.

Mengutip salah satu Syair Rumi di Republika jumat lalu berikut ini :

 Aku mati sebagai mineral dan menjelma tumbuhan,
Aku mati sebagai tumbuhan dan terlahir binatang,
Aku mati sebagai binatang dan kini manusia.
Kenapa aku mesti takut? Maut tak menyebabkanku berkurang!
Namun sekali lagi aku harus mati sebagai manusia,
Dan melambung bersama malaikat; dan bahkan setelah menjelma malaikat
aku harus mati lagi; segalanya kecuali Tuhan, akan lenyap sama sekali.
Apabila telah kukorbankan jiwa malaikat ini, Aku akan menjelma sesuatu yang tak terpahami.
O,..biarlah diriku tak ada!
sebab ketiadaan menyanyikan nada-nada suci, "KepadaNya kita akan kembali."



Rumi mengajarkan tasawuf yang mengedepankan cinta serta selalu berpegang pada aturan-aturan yang ditetapkan Alquran. Sikap Rumi inilah yang menjadikan dia terjaga dari apa saja yang mungkin memberikan jarak dirinya terhadap Allah SWT. Ajarannya tidak terlepas dari cinta, kehalusan budi, dan keluhuran rasa kemanusiaan serta menjunjung tinggi perdamaian seorang Muslim.

Republika juga menulis :

Rumi juga membingkai cinta dan kasih sayang terhadap Allah SWT dalam kekhusyuan ibadah yang ia lakukan dan juga di tengah keramaian suasana manakala ia sedang melakukan aktifitas di masyarakat.

Di dalam kekhusuan ibadah yang dikerjakan, akhirnya Rumi menemukan konsep penyatuan diri (unifikasi) dengan Allah SWT yang bias didapatkan manakala seseorang berusaha untuk membatasi dirinya untuk melakukan komunikasi dengan selain komunikasi yang ia jalin bersama Allah SWT.

Setiap orang yang terbakar oleh api cinta-Nya akan merasakan luapan hati yang berat. Akan tetapi, Rumi tidak pernah menunjukkan rasa ketidaksukaannya. Justru ia merasakan hal tersebut merupakan salah satu prestasi kasih sayang yang ia bingkai bersama-Nya dan mencegahnya untuk berkeluh-kesah dalam melakukan ibadah yang ia rajut bersama kesetiaannya.

Bagi Rumi, mereka yang mengaku mencintai Allah SWT hendaklah mengiringi perasaan cinta dengan keinginan untuk senantiasa melakukan ibadah kepada-Nya. Hal itu merupakan salah satu wahana untuk bisa dekat dan menyatu dengan Allah SWT.

Di samping itu, Rumi juga mengajarkan, Muslim hendaknya berusaha untuk selalu menghiasi diri dengan kemuliaan-kemuliaan sikap dalam hidup, seperti sederhana dalam mengkonsumsi makanan, minum, tidur, dan memberikan orientasi dengan kesadaran penuh terhadap firman-firman-Nya.

Wah........................... Jadi penasaran dengan sosok Rumi.....

Tidak ada komentar: