11 Juni 2008

ARTI TAKWA ADALAH CINTA


Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, M.A.


 
Musibah ada di mana-mana dan bisa terjadi kapan saja. Yang penting bagi kita ialah bagaimana menyikapi musibah itu seandainya ia datang menimpa kita atau anggota keluarga kita. Misalnya hujan. Curah hujan yang melebihi batas normal kadang-kadang tidak lagi berfungsi sebagai rahmat, tetapi bisa menjadi suatu laknat, apalagi jika mendatangkan banjir. Dengan demikian, ini bisa disebut dengan musibah kecil. Seperti kita tahu, musibah atau kesulitan-kesulitan hidup itu sisi lain dari kehendak Tuhan untuk menyapa hamba-Nya. Seolah-olah Allah merindukan hamba-Nya, sehingga Dia merindukan mereka dalam bentuk musibah. Musibah adalah sebentuk surat cinta Tuhan kepada kekasih-Nya.

Kenapa musibah disebut surat cinta? Karena mungkin pada suatu saat, seseorang itu tidak sanggup untuk mendekati Tuhan, terlena dengan kemewahan duniawi yang ada pada dirinya, sehingga tertutup pintu batinnya, tidak lagi sensitif dan tidak lagi ada kerinduan terhadap Tuhannya. Seringkali kerinduan terhadap Tuhan itu muncul manakala dipancing oleh hadirnya musibah. Seringkali tanpa musibah, seseorang lupa terhadap Allah Swt. Pengalaman-pengalaman yang mengecewakan, seperti adanya gangguan-gangguan yang menghambat normalitas kehidupan kita, harus dimaknai bahwa ini adalah cara Tuhan untuk mengingatkan kita.

Allah berfirman: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (QS. Ali Imrân [3]: 102)

Ayat ini merupakan panggilan khusus untuk orang yang beriman. Mereka diminta untuk bertakwa dengan sebenar-benarnya takwa, dengan puncak takwa. Meskipun di dalam ayat lain dikatakan, "Bertakwalah kepada Allah sebatas kemampuanmu." (QS. At-Taghabûn [64]: 16). Allah Maha adil. Kalau seandainya standar ketakwaan itu memakai standar ketakwaan Rasulullah, atau para aulia, kita sebagai orang awam tentu sulit untuk mencapainya. Tetapi Allah Mahatahu bahwa tidak semua hamba-Nya sama pengalaman batinnya dan tingkat makrifahnya.

Apa perbedaan ayat pertama dan ayat kedua?

Ayat pertama meminta kita untuk bersikap maksimal mewujudkan ketakwaan itu di dalam diri kita. Tetapi kalau kita sudah berusaha, dan ternyata masih jauh dari standar ketakwaan itu, jangan khawatir karena ada firman Allah yang lain, "Bertakwalah sebatas kemampuanmu." Jangan berkecil hati kalau ketakwaan kita tidak bisa menyamai Rasulullah dan para wali. Yang penting kita sudah berusaha sekuat kemampuan kita, kemudian terimalah apa adanya diri kita.

Apa yang dimaksud dengan takwa?

Banyak orang mengartikan takwa sebagai takut terhadap Allah. Sebetulnya terjemahan ini tidak sepenuhnya tepat. Memang salah satu pengertian takwa adalah takut, tapi itu hanya kira-kira 30% benarnya. Takut hanya salah satu komponen dari takwa, tetapi komponen terbesarnya bukan takut. Komponen yang sangat penting dari takwa adalah cinta kepada Allah. Di kalangan sufi, takwa itu diartikan dengan cinta terhadap Allah. Di kalangan fukaha, takwa itu adalah takut terhadap Allah. Kombinasi antara takwa dan takut, itulah pengertian takwa yang ideal bagi kita.

Sesungguhnya Allah Swt. bukanlah sosok yang sangat mengerikan sehingga kita harus takut terhadap-Nya. Melainkan Allah Swt. adalah sosok yang Mahaindah untuk dicintai, sosok yang Maha Pengasih, sosok yang Mahalembut. Dengan demikian, takwa itu di satu sisi kita takut dan segan kepada Allah, di sisi lain, kita mencintai-Nya.

Miniatur sikap kita terhadap Allah itu persis sikap kita terhadap kedua orang tua kita. Di satu sisi kita segan dan takut terhadap orang tua, pada sisi lain kita juga butuh dan cinta terhadap mereka. Sekalipun kita dimarahi, sekalipun kita dipukul, tetap orang yang paling kita cintai adalah kedua orang tua kita. Sekalipun Tuhan menurunkan musibah, sekalipun Tuhan sering menguji kita, tetapi yang kita cintai hanya Allah Swt. Inilah pengertian kongkret yang bisa kita ukur dari pengertian takwa.

Bertakwalah kepada Allah Swt., artinya takutilah dan cintailah Allah Swt. Kadang-kadang Allah tampil sebagai sosok yang Mahabesar untuk ditakuti, terutama bagi para pendosa. Bagi orang yang baru saja melakukan dosa, di situ Tuhan akan tampil sebagai Yang Maha adil, Yang Maha Penghukum, bahkan Yang Maha Penyiksa, sehingga orang yang berdosa menjadi ciut nyalinya dan tidak berani lagi melakukan dosa.

Tapi Allah Swt. akan tampil sebagai sosok yang Maha Mencinta di hadapan orang yang melakukan ibadah. Orang yang melakukan ibadah dan kebaikan-kebaikan dengan ikhlas, tidak usah takut terhadap Allah. Baginya, yang paling tepat adalah mencintai Allah.

Siapapun orang yang beriman, yang berdosa pasti akan merasa takut kepada Allah. Dan siapapun orang yang beriman, yang telah beribadah dengan sungguh-sungguh dan ikhlas, pasti ada muncul rasa cinta di dalam dirinya kepada Allah dan harapan yang besar untuk mendapatkan cinta-Nya. Dengan demikian, pola relasi manusia dan Tuhan adalah pola relasi takut dan cinta. Inilah Islam.

Agama-agama lain tunggal pola relasinya, dan umumnya mengandalkan pola relasi takut kepada Tuhannya atau dewa-dewanya. Itulah sebabnya dalam agama lain diperlukan mediasi antara manusia dan Tuhannya atau dewanya. Bahkan ada yang menggambarkan dewanya dengan gambaran yang mengerikan. Kalau perlu dibuatkan patungnya dengan sosok yang besar, wajah yang angker, taringnya mencuat, bahkan membawa alat pemukul (gada). Supaya apa? Itu sebagai mediasi agar jiwa si penyembah takut kepada yang disembahnya. Semakin takut, semakin tinggi kedekatannya dengan Tuhan. Semakin takut, semakin hebat ibadahnya.

Dalam Islam tidak mesti seperti itu. Allah Swt. bukan sosok yang Maha Mengerikan untuk ditakuti, tapi lebih menonjol sebagai Tuhan Maha Penyayang untuk dicintai. Kalau pola relasi kita itu takut, kita akan menggambarkan Tuhan itu transenden, jauh sekali. Tapi kalau pola relasi cinta yang kita bangun, seolah-olah Tuhan itu amat dekat dengan diri kita. Firman Allah dalam Alquran: "Sesungguhnya Aku lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya sendiri." (QS. Qâf [50]: 16)

Di kalangan sufi sering muncul pertanyaan, apakah Tuhan berada dalam diriku ataukah aku berada dalam diri Tuhan? Begitu dekatnya Tuhan dengan hamba, dan kedekatan ini polanya adalah relasi cinta. Hemat saya, inilah pola yang paling tepat bagi kita untuk mendekati Tuhan, yaitu pola relasi cinta. Pola relasi takut, bawaannya adalah formalitas, kering, dan kaku, serta sangat dipengaruhi oleh mood. Tapi pola relasi cinta lebih permanen sifatnya, segar, damai, dan menjanjikan harapan yang indah.

Maka berusahalah untuk lebih mencintai Tuhan, cinta dan cinta kepada Tuhan. Itulah takwa. Sehingga kalau berdoa pun, doanya seperti kaum sufi, "Ya Allah, aku menyembah Engkau bukan karena mengharap surga-Mu, dan aku meninggalkan maksiat bukan karena takut neraka-Mu. Masukkan aku ke neraka-Mu kalau aku menyembah-Mu karena takut neraka. Jauhkan aku dari surga-Mu jika aku menyembah-Mu karena ingin surga. Aku menyembah kepada-Mu, ya Allah, semata-mata karena cintaku yang sangat dalam kepada-Mu."

Luar biasa. Inilah nanti yang memancar dampaknya dalam masyarakat. Apapun yang kita lakukan, penuh dengan kedamaian. Termasuk saat tertimpa musibah atau kesedihan pun, hati kita akan tetap tenang dan ikhlas. Berjumpa dengan saudara, dengan kawan, tersenyum. Damai bawaannya. Kalau cinta terhadap Tuhan membara dalam diri setiap hamba, maka kedamaian antar sesama manusia pun akan tercipta. Insya Allah.

09 Juni 2008

Rahasia Shalat Dhuha


Oleh : Amir Faishol Fath


Allah SWT dalam beberapa ayat bersumpah dengan waktu dhuha. Dalam pembukaan surat Assyams, Allah berfirman, ''Demi matahari dan demi waktu dhuha.'' Bahkan, ada surat khusus di Alquran dengan nama Addhuha.

Pada pembukaannya, Allah berfirman, ''Demi waktu dhuha.'' Imam Arrazi menerangkan bahwa Allah SWT setiap bersumpah dengan sesuatu, itu menunjukkan hal yang agung dan besar manfaatnya. Bila Allah bersumpah dengan waktu dhuha, berarti waktu dhuha adalah waktu yang sangat penting. Benar, waktu dhuha adalah waktu yang sangat penting. Di antara doa Rasulullah SAW: Allahumma baarik ummatii fii bukuurihaa. Artinya, ''Ya Allah berilah keberkahan kepada umatku di waktu pagi.''

Ini menunjukkan bahwa orang-orang yang aktif dan bangun di waktu pagi (waktu subuh dan dhuha) untuk beribadah kepada Allah dan mencari nafkah yang halal, ia akan mendapatkan keberkahan. Sebaliknya, mereka yang terlena dalam mimpi-mimpi dan tidak sempat shalat Subuh pada waktunya, ia tidak kebagian keberkahan itu.

Abu Dzar meriwayatkan sebuah hadis. Rasulullah SAW bersabda, ''Bagi tiap-tiap ruas anggota tubuh kalian hendaklah dikeluarkan sedekah baginya setiap pagi. Satu kali membaca tasbih (subhanallah) adalah sedekah, satu kali membaca tahmid (alhamdulillah) adalah sedekah, satu kali membaca takbir (Allahu Akbar) adalah sedekah, menyuruh berbuat baik adalah sedekah, dan mencegah kemungkaran adalah sedekah. Dan, semua itu bisa diganti dengan dua rakaat shalat Dhuha.'' (HR Muslim).

Aisyah menceritakan bahwa Rasulullah SAW selalu melaksanakan shalat Dhuha empat rakaat. Dalam riwayat Ummu Hani', ''Kadang Rasulullah SAW melaksanakan shalat Dhuha sampai delapan rakaat.'' (HR Muslim). Imam Attirmidzi dan Imam Atthabrani meriwayatkan sebuah hadis yang menjelaskan bahwa bila seseorang melaksanakan shalat Subuh berjamaah di masjid, lalu ia berdiam di tempat shalatnya sampai tiba waktu dhuha, kemudian ia melaksanakan shalat Dhuha, ia akan mendapatkan pahala seperti naik haji dan umrah diterima. Para ulama hadis merekomendasikan hadis ini kedudukannya hasan.

Jelaslah bahwa shalat Dhuha sangat penting bagi orang beriman. Penting bukan karena--seperti yang banyak dipersepsikan--shalat Dhuha ada hubungannya dengan mencari rezeki, melainkan ia penting karena sumpah Allah SWT dalam Alquran. Maka, sungguh bahagia orang-orang beriman yang memulai waktu paginya dengan shalat Subuh berjamaah di masjid, lalu dilanjutkan dengan shalat Dhuha.

dari : kolom hikmah harian Republika Senin 9 Juni 2008

04 Juni 2008

Bersyukur dalam Kesempitan


Bersyukur dalam Kesempitan

Oleh : Abduh Zulfidar Akaha



''Dan, hanya sedikit di antara hamba-hamba-Ku yang mau bersyukur.'' (QS Saba' [34]: 13).

Dengan wajah sedih, seorang laki-laki datang kepada seorang ulama. Dia mengeluhkan kefakiran dan berbagai kemalangan hidup yang dialaminya. Ulama tersebut berkata, ''Apa kamu mau penglihatanmu diambil dan diganti dengan seribu dinar?'' Orang itu berkata, ''Tidak.''

Sang ulama bertanya lagi, ''Apa kamu senang menjadi orang bisu dan diberi seribu dinar?'' Orang tersebut menjawab, ''Tidak.'' Sang ulama yang dikenal saleh itu kembali bertanya, ''Apa kamu mau dua tangan dan dua kakimu buntung, lalu kamu mendapatkan dua puluh ribu dinar?'' Orang tersebut lagi-lagi menjawab, ''Tidak.''

''Apa kamu mau jadi orang gila dan dikasih sepuluh ribu dinar?'' tanya sang ulama lagi. Dan, sekali lagi orang tersebut mengatakan, ''Tidak.'' Maka, sang ulama bijak itu pun berkata, ''Terus, apa kamu ini tidak malu kepada Tuhanmu yang telah memberimu harta senilai puluhan ribu dinar?'' Kisah ini berbicara, betapa banyak orang salah persepsi, dikiranya nikmat hanya sebatas harta dan materi semata. Mereka tidak menyadari bahwa nikmat Allah meliputi segala hal: keimanan, kesehatan, keluarga, tempat tinggal, kepandaian, teman yang baik, pemimpin yang adil, tumbuh-tumbuhan, makanan, dan sebagainya. Itu semua adalah nikmat yang harus disyukuri, baik kita memintanya maupun tidak.

Untuk menjadi orang bersyukur, setidaknya ada tiga syarat yang harus dipenuhi. Pertama, mengetahui apa itu nikmat dan meyakini sepenuhnya bahwa nikmat tersebut adalah pemberian Allah. Kedua, bahagia dan gembira dengan nikmat yang Allah berikan kepada kita. Dan, ketiga, melakukan hal-hal yang disukai oleh Pemberi Nikmat, baik melalui lisan dengan ucapan ''Alhamdulillah'' maupun melalui perbuatan-perbuatan yang disukai-Nya.
 
Dari : Kolom Hikmah harian Republika Jumat 30 Mei 2008

02 Juni 2008

Optimisme dalam Berdoa


Optimisme dalam Berdoa

Oleh : Eka Rahmat


Rasulullah SAW bersabda, ''Apabila seorang di antara kamu berdoa, janganlah dia berkata, 'Ya Allah, ampunilah aku jika Engkau sudi.' Tetapi, bersungguh-sungguhlah dalam memohon. Dan, mohonlah perkara-perkara yang besar dan mulia (surga atau pengampunan) karena Allah tidak ada sesuatu pun yang besar bagi-Nya dari apa yang telah dianugerahkan.'' (Shahih Muslim No 4838).

Berdoa ibarat pedang bagi seorang Muslim. Ia menjadi alat pelindung bagi siapa pun yang memerlukan. Sederhananya, doa adalah alat untuk menjembatani semua pengharapan dan permintaan hamba pada Tuhannya. Layaknya sebuah bahasa, doa adalah salah satu jenis percakapan antara hamba dan Tuhannya. Ia menghubungkan ketidakberdayaan hamba dan kemahakuasaan Allah. Tentu saja, karena begitu sakralnya, doa berbeda dengan percakapan umumnya. Ia memiliki tata cara, adab, serta etika yang harus dilakukan. Salah satu etika yang harus dilakukan dalam berdoa adalah optimisme dalam berdoa.

Rasulullah melarang kita untuk berdoa dengan lafal yang menunjukkan pesimisme seperti dalam hadis di atas. Walau bisa jadi pelafalan doa itu bermaksud untuk menunjukkan ketidakberdayaan seorang hamba, jangan sampai membuat nuansa bahwa Allah tidak memiliki kehendak untuk mengabulkan apa pun.

Optimisme dalam berdoa pun sering kali ditunjukkan pula dengan seberapa penting dan besar sesuatu yang diminta. Islam mengajarkan etika kepada kita agar meminta dan berharap akan perkara-perkara yang besar, seperti pengampunan dosa dan pengharapan surga. Hal itu menunjukkan seorang hamba mengerti bahwa doa merupakan dialog penting untuk meminta dan berharap hal-hal yang penting pula.

Tidak semua masalah harus dikemukakan. Namun, berharap agar bisa menyelesaikan masalah adalah lebih baik. Tidak semua harapan diutarakan, tetapi meminta agar merasa cukup adalah lebih baik. Sederhananya, setiap hamba memiliki kebutuhan dan harapan, tetapi tidak setiap kebutuhan dan harapan layak untuk dijadikan permintaan dalam berdoa. Begitulah semangat optimisme berdoa yang harus dibangun sehingga nuansa berdoa tidak hilang karena pesimisme kita atau karena kerdilnya permintaan-permintaan kita. Wallahu a'lam.
 
Dari Republika Rabu, 28 Mei 2008