30 Oktober 2007

MENGEVALUASI HASIL PUASA



Puasa dari hari ke hari yang kita laksanakan semakin dekat ke penghujung harinya. Mari kita bersama-sama merenungkan apakah puasa yang telah kita tunaikan telah mencapai tujuannya. Di dalam al-Quran dinyatakan bahwa tujuan berpuasa adalah meraih takwa.

Penekanan al-Quran dengan ketakwaan bisa kita rinci dengan menyatakan bahwa puasa yang dilaksanakan oleh semua orang, yang diwajibkan oleh semua agama samawi, dan ditekankan sejak dulu hingga kini, semuanya bertujuan untuk belajar mengendalikan hawa nafsu. Siapa saja yang mampu mengendalikan hawa nafsunya, maka ia akan mencapai "takwa". Sebaliknya, siapa saja yang memperturutkan hawa nafsunya, maka ia akan terjerumus dalam kesulitan duniawi dan ukhrawi.

 
Allah Swt. menunjuki kita dua jalan, yaitu: jalan kebaikan dan jalan keburukan. Allah juga menganugerahkan kita berupa nafsu dan akal. Agama menghendaki agar nafsu dikendalikan oleh akal, bukan akal yang dikendalikan oleh nafsu. Tapi, perlu digarisbawahi oleh umat Islam bahwa agama tidak menghendaki kita mengubur hawa nafsu tapi mengendalikannya, karena nafsu kita butuhkan dalam kehidupan kita.

 Ada nafsu al-amaarah. Ia terungkap di dalam aktivitas makan, minum, seksual, atau cinta harta benda. Allah Swt. berfirman:

"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang ….". (Qs.3 : 14)

Semua itulah yang mendorong kita membangun dunia ini. Karenanya, puasa sama sekali tidak ditujukan untuk mematikan nafsu. Tetapi, jika diperturutkan, maka sangat berpotensi untuk menghancurkan.

Alkisah, ada tiga orang sahabat Nabi yang datang menyelidiki dan memperhatikan bagaimana ibadah Nabi. Akhirnya, mereka berkesimpulan bahwa terlalu jauh jarak antara ibadah Nabi dengan ibadah mereka. Seorang berkata, saya tidak akan kawin. Yang lain berkata, saya akan berpuasa sepanjang masa dan tidak akan berbuka. Yang lain lagi berkata, saya akan shalat malam terus-menerus dan tidak akan tidur.

Ketiga orang ini ingin membunuh nafsunya, tetapi itu bertentangan dengan fitrah manusia. Maka, ketiga orang itu dipanggil oleh Nabi dan diperingatkan: "Ketahuilah saya adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian, tapi saya juga kawin, saya juga tidur malam di samping shalat, serta saya juga berpuasa dan berbuka."

Ini adalah salah satu contoh betapa agama Islam tidak bermaksud mematikan hawa nafsu tetapi mengendalikannya. Puasa adalah pengendalian nafsu, bukan untuk mematikannya,  karena terkadang kita membutuhkan nafsu amarah, nafsu seksual, juga nafsu-nafsu yang lain. Tidak akan terjadi pembangunan tanpa nafsu dan tidak akan ada peradaban kalau kita menjadi malaikat-malaikat yang tidak mengenal hawa nafsu.

Namun sebaliknya, akan hancur peradaban, akan musnah pembangunan, dan akan terhenti kehidupan jika hawa nafsu diperturutkan tanpa kendali. Islam datang menganjurkan pengendalian nafsu, karena orang-orang yang mampu mengendalikan hawa nafsunya itulah yang akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Dalam diri manusia ada akal, Sisi dalamnya bagaikan suatu istana, di hadapannya ada pagar-pagar, dan di ujung sana ada paviliun di mana bertempat nafsu amarah manusia, yakni sebuah nafsu yang selalu ingin menjerumuskan manusia. Penghuni istana, yaitu akal, ingin mengendalikan hawa nafsu itu. Namun di sisi lain, nafsu juga ingin mengendalikan akal dan nurani manusia. Nafsu ini seringkali bekerja sama dengan Syetan untuk menggolkan maksudnya. Syetan dari luar seringkali mengunjungi nafsu dan menghembuskan asap hitam yang menyesatkan dan menjadikan kalbu seseorang tidak lagi mampu melihat keadaan sekelilingnya, padahal Allah menciptakan kalbu untuk memonitor keadaan sekeliling. Asap yang dihembuskan Syetan itu menggelapkan kalbu manusia. Saat itu nafsu dan Syetan berhasil menguasai kalbu manusia. Kala itulah kehancuran individu dan masyarakat menjadi nyata.



"Tahukah kamu orang-orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya?"  (Qs. 45: 23)

 Akal sebenarnya dicipta untuk mengendalikan hawa nafsu. Jangan sampai nafsu melampaui batas-batas yang ditetapkan oleh Allah Swt. Nah, kita berpuasa adalah dalam upaya untuk mengendalikan nafsu, bukan mematikannya. Kesabaran kita dalam menahan nafsu selama berpuasa bukan untuk memendam nafsu hingga mati tetapi mengendalikannya, hingga kita mencapai tingkat yang dinamai al-Quran dengan nafsu al-muthma'innah, jiwa yang tenang.

Sebelum mencapai peringkat ini, ada tahap yang harus dilalui, yaitu nafsu al- lawwaamah, jiwa yang selalu mengecam pemiliknya jika telah melakukan suatu kesalahan. Jadi, (paling tidak) setelah puasa, kita berhasil membina nafsu kita hingga minimal sampai pada tingkat nafsu al-lawwaamah, nafsu yang membuat kita merasa risih dan tidak enak kala melakukan kesalahan atau dosa. Tanpa adanya kecaman itu di dalam hati kita, maka puasa yang kita lakukan pada bulan Ramadhan ini tidak mencapai target minimal. Dan, alangkah baiknya jika terus meningkat hingga mencapai tingkat nafsu al-muthma'innah, nafsu yang tenang lahir dan batin.

Sumber :
Disunting dari teks Khutbah Jumat di Masjid Agung At-Tin, 14 November 2003, oleh Prof.DR. Quraish Shihab, MA

====================================================================================================================================
[ "Laisal fataa man yaquula kaana abii, wa laakinnal fataa man yaquula ha anadzaa!"]
|  Bukanlah pemuda sejati kalau hanya mampu mengatakan (dengan bangga), "Ini Bapakku!" Pemuda sejati itu, adalah yang mampu mengatakan "Inilah aku!" |

Tidak ada komentar: